Tuesday, 3 November 2015

Cerita Purba Bangka: Keluarga Pak Udak – Dalam Seri Kisah “ Selimut Sakti ( Bagian 3)”



Pak Raje akan mengadakan hajat besar, mengawinkan, putri keenam dengan Megat Tanjung Eru. Hajat ini besar hingga disebut sedekah “ bealuk-aluk beantal-antal mikul aluk mengambil bantal” artinya semua orang ikut berhajat dan undangannya pun sampai tujuh kampung selama tujuh hari tujuh malam dan tujuh lumbung padi ditumbuk. Sejak hari pertama hingga hari ketujuh seluruh tamu menjadi tanggungan kampung yang mengundang. Dari hari pertama sudah banyak tamu yang datang, seluruh lapisan rakyat bekerja membuat bangsal-bangsal untuk tamu, balai desa dihiasi karena di situlah tamu-tamu bangsawan dan ternama yang akan menginap.

Pada waktu musim pesta itu, ke mana pun kita masuk rumah akan disambut dengan keramahan yang besar karena kalau suatu desa kurang menghormati tamunya nanti akan menjadi buah bibir dari orang desa yang diundang. Maka seluruh desa itu akan mendapat malu. Setiap rumah menyediakan kue-kue dan lauk-pauk seperti di rumah pengantin, hanya tidurnya para tamu itu ada di rumah kenalan atau familinya (keluarga) para bangsawan, dibalai, dan bagi orang kebanyakan tidur di bangsal-bangsal. Makanan diantar bergotong royong dan orang yang mempunyai hajatan itu mengeluarkan banyak biaya.

Dalam tujuh hari itu, bunyian tidak berhenti dipalu orang, gong, kelintang dan gendang bertalu-talu siang malam. Tarian juga tidak berhenti dan pada hari ketujuh pengantin disandingkan, lalu diarak keliling desa.

Keramaian diteruskan hingga tengah malam, mereka yang tidak letih, berjaga hingga pagi karena hari ini adalah hari terakhir. Megat Tanjung Eru seorang anak Bangsawan dari sebuah desa yang karena asyiknya dengan gadis-gadis, terlambat pulang untuk tidur ke balai. Dilihatnya orang-orang sudah tidur, dia merasa segan akan membangunkan orang-orang tua di situ, lalu ia kembali ke bangsal yang masih banyak tempat yang kosong. Karena terlalu mengantuk Megat tertidur di samping seseorang yang telah tertidur mendengkur dengan nyenyaknya.

Selimut aneka ragam - kotabumi-lampura.blogspot.com images
 Waktu dinihari Megat terbangun karena kedinginan. Kain yang dipakainya bukan untuk selimut tidur, tetapi kain untuk ke pesta atau untuk melancong (jalan-jalan). Selimut tidurnya sendiri ada di balai desa. Di sebelahnya tidur seorang yang berselimut lebar, tetapi beraneka ragam warnanya. Oleh karena tidak tertahan lagi dinginnya, selimut aneka ragam dibangunkannya, “Man…paman…!” seloroh Megat perlahan. "Ee…ooo…ee…aaaa…apa…?" tukas paman setengah sadar. Mari kita tukar selimut paman pakai kain tanjong ini dan aku memakai selimut paman. “Ah…enggak…sayang…dingin,”jawabnya. “Begini saja, Man, ambillah kain saya ini dan besok kain paman saya tinggal pula di sini, jadi paman tidak usah mengembalikan kain saya dan paman dapat pula kain paman sendiri!” lanjut Megat Tanjung. Pak Udak masih melongok,  tetapi Megat menarik selimut dan memberikan kain kepada Pak Udak. 

Sebentar saja sudah kedengaran dengkur Megat Tanjung Eru dan pagi-pagi keluarga Pak Udak sudah pulang ke rumahnya. Kebanyakan rakyat sudah pulang, hajatan sudah selesai. Tinggal membersihkan balai desa dan seluruh desa.

Matahari telah lama terbit, Pak Raje keluar menuju bangsal, di sudut tampak olehnya Pak Udak sedang tidur dengan enaknya. Selimut aneka-ragam menjadi tanda. “Ai, Pak Udak ini membuat malu saja hari begini masih tidur!” gerutunya sambil mendekat. “Ei..ei.. Pak Udak bangun!” lanjut Pak Raje. Ia menggoyang-goyang badan yang terbaring itu dengan kakinya. Tubuh itu menggeliat-geliat menyibakkan selimut aneka-ragam itu. “Ampun dewa, maafkan Paman, Nak Megat, ppp…man sangka Pak Udak. Mengapa anak memakai kain Pak Udak?” kata Pak Raje kemalu-maluan. “Sayalah yang harus minta maaf kepada paman, semalam aku pulang terlalu larut malam hingga tak dapat lagi tidur di balai. Waktu dinihari karena sangat dinginnya aku tukarkan kainku dengan seorang tua yang tidur di sampingku!” jawab Megat Tanjung.

“Lain kali jangan begitu Nak Megat, panggillah pesuruh, tidur di rumah paman, jangan tidur di bangsal, malu paman dengan orang tuamu!” jelas Pak Raje lebih lanjut.
Setelah dijamu makan pagi, Megat pun pulanglah bersama orang-orang lain ke desanya. Bukan buatan marahnya Pak Raje kepada Pak Udak, mau rasanya ia membunuh Pak Udak yang telah memberinya malu sedemikian rupa.

Setelah semua tamu pulang, seorang pesuruh datang memanggil Pak Udak atas perintah Pak Raje. “Hei Pak Udak, mengapa engkau memberikan malu dengan memberikan selimut burukmu kepada Megat Tanjung Eru? Mengapa kau suruh pakai?” marah Pak Raje. “Anu… Pak Raje…bukan aku yang memberi, tapi dia yang mengajak …tukar!” jawab Pak Udak.

“Jangan banyak omong, malu timbalnya mati; sebab itu, kita harus bertarung, bertikam dengan senjata tajam. Siapa kena mati percuma!” pungkas Pak Raje. Aku memilih senjata dulu, menikam dulu, tiap aku menikam tiga kali, engkau hanya boleh menikam sekali. Senjataku…dengar… serampang mata tiga dengan perisai nyiru!” terang Pak Raje.

“Aok Pak…Raje…!” jawab Pak Udak.

“Jangan aok…aok…apa senjatamu?” hardik Pak Raje. Pak Udak terdiam termangu-mangu dia tidak pernah memikirkan akan bermain senjata serupa itu.

“Ayo jawab kalau tidak kau kutikam sekarang juga!” Pak Raje mulai kehilangan kesabaran…“Anu..anu!” ingatannya melayang ke rumah, ia teringat ada sebatang tiruk ( tombak menangkap ikan terbuat dari besi) dan sebuah tangguk ikan terletak di atas lumbung padi.

“Senjataku tiruk dan perisaiku tangguk rotan. Baik, segeralah pulang dan ini selimutmu. Benci aku melihatnya.” geram Pak Raje. Pak Udak pun pulanglah sambil berselendang selimut aneka ragam.

“Mengapa awak dipanggil Pak Raje,” tanya Mak Udak tatkala melihat lakinya tergesa-gesa masuk ke rumah. “Anu…anu…Mak Udak, semalam aku diajak oleh Megat Tanjung Eru bertukar kain. Mulainya…aku tak mau, tapi dia memaksa. Akhirnya aku mau, lalu aku tidur kemudian aku pulang terlebih dahulu ke rumah. Tadi Pak Raje marah dan kami akan main tikam senjata. Pak Raje serampang mata tiga perisainya nyiru. Dia menikam tiga kali aku sekali. Sedangkan saya akan menggunakan senjata tiruk dan perisaiku tangguk,” jelas Pak Udak panjang lebar. Sambil ia naik ke atas lumbung padi mengambil senjata yang diperlukannya itu…(bersambung…) - (Vau-G/www.bapang007.blogspot.com).

Referensi:
1.          ^ Amiruddin, Cerita-Cerita Purba dari Pulau Bangka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1983.

No comments:

Post a Comment