Pak Raje
akan mengadakan hajat besar, mengawinkan, putri keenam dengan Megat Tanjung
Eru. Hajat ini besar hingga disebut sedekah “ bealuk-aluk beantal-antal mikul
aluk mengambil bantal” artinya semua orang ikut berhajat dan undangannya pun
sampai tujuh kampung selama tujuh hari tujuh malam dan tujuh lumbung padi
ditumbuk. Sejak hari pertama hingga hari ketujuh seluruh tamu menjadi
tanggungan kampung yang mengundang. Dari hari pertama sudah banyak tamu yang
datang, seluruh lapisan rakyat bekerja membuat bangsal-bangsal untuk tamu,
balai desa dihiasi karena di situlah tamu-tamu bangsawan dan ternama yang akan
menginap.
Pada waktu
musim pesta itu, ke mana pun kita masuk rumah akan disambut dengan keramahan
yang besar karena kalau suatu desa kurang menghormati tamunya nanti akan
menjadi buah bibir dari orang desa yang diundang. Maka seluruh desa itu akan
mendapat malu. Setiap rumah menyediakan kue-kue dan lauk-pauk seperti di rumah
pengantin, hanya tidurnya para tamu itu ada di rumah kenalan atau familinya
(keluarga) para bangsawan, dibalai, dan bagi orang kebanyakan tidur di
bangsal-bangsal. Makanan diantar bergotong royong dan orang yang mempunyai
hajatan itu mengeluarkan banyak biaya.
Dalam tujuh
hari itu, bunyian tidak berhenti dipalu orang, gong, kelintang dan gendang
bertalu-talu siang malam. Tarian juga tidak berhenti dan pada hari ketujuh
pengantin disandingkan, lalu diarak keliling desa.
Keramaian
diteruskan hingga tengah malam, mereka yang tidak letih, berjaga hingga pagi
karena hari ini adalah hari terakhir. Megat Tanjung Eru seorang anak Bangsawan
dari sebuah desa yang karena asyiknya dengan gadis-gadis, terlambat pulang
untuk tidur ke balai. Dilihatnya orang-orang sudah tidur, dia merasa segan akan
membangunkan orang-orang tua di situ, lalu ia kembali ke bangsal yang masih
banyak tempat yang kosong. Karena terlalu mengantuk Megat tertidur di samping
seseorang yang telah tertidur mendengkur dengan nyenyaknya.
![]() |
Selimut aneka ragam - kotabumi-lampura.blogspot.com images |
Waktu
dinihari Megat terbangun karena kedinginan. Kain yang dipakainya bukan untuk
selimut tidur, tetapi kain untuk ke pesta atau untuk melancong (jalan-jalan).
Selimut tidurnya sendiri ada di balai desa. Di sebelahnya tidur seorang yang
berselimut lebar, tetapi beraneka ragam warnanya. Oleh karena tidak tertahan
lagi dinginnya, selimut aneka ragam dibangunkannya, “Man…paman…!” seloroh Megat
perlahan. "Ee…ooo…ee…aaaa…apa…?" tukas paman setengah sadar. Mari kita tukar
selimut paman pakai kain tanjong ini dan aku memakai selimut paman. “Ah…enggak…sayang…dingin,”jawabnya.
“Begini saja, Man, ambillah kain saya ini dan besok kain paman saya tinggal
pula di sini, jadi paman tidak usah mengembalikan kain saya dan paman dapat
pula kain paman sendiri!” lanjut Megat Tanjung. Pak Udak masih melongok, tetapi Megat menarik selimut dan memberikan
kain kepada Pak Udak.
Sebentar
saja sudah kedengaran dengkur Megat Tanjung Eru dan pagi-pagi keluarga Pak Udak
sudah pulang ke rumahnya. Kebanyakan rakyat sudah pulang, hajatan sudah
selesai. Tinggal membersihkan balai desa dan seluruh desa.
Matahari
telah lama terbit, Pak Raje keluar menuju bangsal, di sudut tampak olehnya Pak
Udak sedang tidur dengan enaknya. Selimut aneka-ragam menjadi tanda. “Ai, Pak
Udak ini membuat malu saja hari begini masih tidur!” gerutunya sambil mendekat.
“Ei..ei.. Pak Udak bangun!” lanjut Pak Raje. Ia menggoyang-goyang badan yang
terbaring itu dengan kakinya. Tubuh itu menggeliat-geliat menyibakkan selimut
aneka-ragam itu. “Ampun dewa, maafkan Paman, Nak Megat, ppp…man sangka Pak
Udak. Mengapa anak memakai kain Pak Udak?” kata Pak Raje kemalu-maluan.
“Sayalah yang harus minta maaf kepada paman, semalam aku pulang terlalu larut
malam hingga tak dapat lagi tidur di balai. Waktu dinihari karena sangat
dinginnya aku tukarkan kainku dengan seorang tua yang tidur di sampingku!”
jawab Megat Tanjung.
“Lain kali
jangan begitu Nak Megat, panggillah pesuruh, tidur di rumah paman, jangan tidur
di bangsal, malu paman dengan orang tuamu!” jelas Pak Raje lebih lanjut.
Setelah
dijamu makan pagi, Megat pun pulanglah bersama orang-orang lain ke desanya.
Bukan buatan marahnya Pak Raje kepada Pak Udak, mau rasanya ia membunuh Pak
Udak yang telah memberinya malu sedemikian rupa.
Setelah
semua tamu pulang, seorang pesuruh datang memanggil Pak Udak atas perintah Pak
Raje. “Hei Pak Udak, mengapa engkau memberikan malu dengan memberikan selimut
burukmu kepada Megat Tanjung Eru? Mengapa kau suruh pakai?” marah Pak Raje. “Anu…
Pak Raje…bukan aku yang memberi, tapi dia yang mengajak …tukar!” jawab Pak
Udak.
“Jangan
banyak omong, malu timbalnya mati; sebab itu, kita harus bertarung, bertikam
dengan senjata tajam. Siapa kena mati percuma!” pungkas Pak Raje. Aku memilih
senjata dulu, menikam dulu, tiap aku menikam tiga kali, engkau hanya boleh
menikam sekali. Senjataku…dengar… serampang mata tiga dengan perisai nyiru!”
terang Pak Raje.
“Aok
Pak…Raje…!” jawab Pak Udak.
“Jangan
aok…aok…apa senjatamu?” hardik Pak Raje. Pak Udak terdiam termangu-mangu dia
tidak pernah memikirkan akan bermain senjata serupa itu.
“Ayo jawab
kalau tidak kau kutikam sekarang juga!” Pak Raje mulai kehilangan kesabaran…“Anu..anu!”
ingatannya melayang ke rumah, ia teringat ada sebatang tiruk ( tombak menangkap
ikan terbuat dari besi) dan sebuah tangguk ikan terletak di atas lumbung padi.
“Senjataku
tiruk dan perisaiku tangguk rotan. Baik, segeralah pulang dan ini selimutmu. Benci
aku melihatnya.” geram Pak Raje. Pak Udak pun pulanglah sambil berselendang
selimut aneka ragam.
“Mengapa
awak dipanggil Pak Raje,” tanya Mak Udak tatkala melihat lakinya tergesa-gesa
masuk ke rumah. “Anu…anu…Mak Udak, semalam aku diajak oleh Megat Tanjung Eru
bertukar kain. Mulainya…aku tak mau, tapi dia memaksa. Akhirnya aku mau, lalu
aku tidur kemudian aku pulang terlebih dahulu ke rumah. Tadi Pak Raje marah dan
kami akan main tikam senjata. Pak Raje serampang mata tiga perisainya nyiru.
Dia menikam tiga kali aku sekali. Sedangkan saya akan menggunakan senjata tiruk
dan perisaiku tangguk,” jelas Pak Udak panjang lebar. Sambil ia naik ke atas
lumbung padi mengambil senjata yang diperlukannya itu…(bersambung…) - (Vau-G/www.bapang007.blogspot.com).
1.
^ Amiruddin, Cerita-Cerita Purba dari Pulau
Bangka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1983.
No comments:
Post a Comment