“Uu…uuu…ampun dewakuu…matilah awak sekali ini, Udak…udak…lihatlah bapakmu puas-puas, dia akan mati dibunuh Pak Raje!” ratap Mak Udak.
Uu…tangis
Mak Udak dan anaknya dengan sedih. Pak Udak keluar dari rumah dengan tenangnya
seperti tidak terjadi apa-apa. Ia memikul tiruk dan tangguk seperti orang akan
mencari ikan.Tangis anak-bininya tidak dihiraukannya.
Sampai di
depan balai desa, di situlah pertandingan akan dilangsungkan. Orang ramai
menyisih ke kiri dan ke kanan membuat sebuah lapangan gelanggang. Gendang
panjang dan tawak-tawak (gong) dipalu tidak berhentinya seperti akan memainkan
silat saja. Sebentar kemudian datanglah Pak Raje menyandang Nyiru dan memikul
tombak serampang. Jenang (wasit) menyuruh Pak Udak mundur 15 langkah ke
belakang. Pak Udak dan Pak Raje berhadap-hadapan. Ayo Pak Udak cagar-cagar
(siap-siaplah) pertandingan akan segera dimulai.
Pak Udak
terkejut sebab ia sedang terpesona dengan bunyi-bunyian yang sedang ditalu
orang…tiruk dipegangnya di tangan kiri dan tangguk tangan kanan.
“Awas…Pak
Udak!”teriak jenang sekali lagi. “ Sak (satu)…due…” Akan tetapi, Pak Udak terus
saja menoleh ke arah pemalu gendang. “Awass…ti…ge…singgg!” Serampang melayang
menuju dada Pak Udak. Penontong memejamkan mata…dukk…mata serampang beradu
dengan dada Pak Udak yang berlilit tebal selimut aneka ragam. Namun tidak
melukainya sedikit pun.
Mata
serampang yang beruit melekat di selimutnya. Muka Pak Raje merah padam,
“Hooooii…!” teriak penonton yang sangat gembira melihat Pak Udak tidak cedera sedikitpun. “Ayo, Pak
Udak balasss!” teriak mereka. “Belum boleh!” teriak Pak Raje. Aku menikam tiga
kali, Pak Udak sekali. Demikian perjanjian sebab aku Raje!”. Penonton
berbisik-bisik, Pak Raje ini memang belit (curang) masak ada janji-janji yang
demikian.
“Siaaap…awas…
Pak Udak…Sak…dua…tige…sing…!”. Pak Udak asyik menoleh kearah pemalu gendang,
dukk…Lewat tiga jari di samping telinga kanan. Mata serampang melekat lagi di
selimut aneka ragam. “Hoo…ho… Pak Udak disertoni (direstui) dewa-dewa!” teriak
penonton dengan sangat gembira. “Selimut betuah (sakti)…selimut betuah!”teriak
penonton. Diam…teriak Pak Raje, “Sekali ini Pak Udak mesti mampus!”
“Yang
penghabisan awas… Pak Udak…jaga,” teriak jenang. Sak…due…selimut Pak Udak
terlepas sedikit dari belitan pada lehernya, tiruk dilepaskan karena
memperbaiki selimutnya tangan kiri memegang perisai agak ditinggikan menutupi
tubuh, Tige…dukk…serampang menerjang tangguk, lekatlah matanya yang beruit
selak anyaman tangguk.
“Hoo…hoo…
Pak Udak selamatt…selamatt…!” teriak penonton riuh rendah. Sekarang giliranmu
Pak Udak…giliranmu menikam dan tiruklah baik-baik. Awas Pak Raje…
Sak…duee...Pak Raje bersiap dengan sombongnya, tigeee…sutt…tiruk melayang
dengan lagak pendekar silat, Pak Raje menyambut tikaman dengan perisai nyiru.
Cuss…mata
tiruk menembuk nyiru. “Aduuuiii…!” teriak Pak Raje dia terjerumus, tangannya
tembus dilanda mata tiruk dari besi sebesar ibu jari kaki.
“Pak Udak
menang…!” teriak penonton sambil berlari ke tengah gelanggang. Ada yang
menepuk-nepuk bahunya, ada yang
tertawa-tawa, dan ada pula yang menangis gembira. Pak Udak mendekati Pak Raje
yang terbaring pingsan dikerumuni orang ramai.
Itulah Pak
Raje, aku memang tidak ingin main tikam-menikam begini sebab hanya ikan saja
yang biasa ditiruk orang. “Ayo Pak Udak kita pulang!” kawan-kawannya menarik
Pak Udak, lalu diantar pulang ke rumah. Pak Raje pulang dengan diusung.
![]() |
Tumbuk Ketan - psychedelicurban.wordpress.com images |
Berpuluh-puluh
orang mengantarkan Pak Udak ke rumahnya, laksana mengantarkan pahlawan menang
perang. Di pondok, Mak Udak sedang menumbuk padi ketan untuk selamatan buat
arwah Pak Udak yang dianggapnya hari ini sudah dibunuh Pak Raje.
“Mak
Udak….Mak Udak!” teriak orang-orang yang mengantar, “Ini Pak Udak, selamat dia
menang. “ Uda…ooo..dak…wahai dewaku terima kasih, bapakmu selamat, anakku.” Bapakmu
masih hidup.“ kata Mak Udak latah kegembiraan.
Lalu orang
banyak menceritakan jalan pertandingan yang menurut mereka berbelit-belit. Akan
tetapi, Tuhan masih melindungi orang yang benar,”kata mereka.
Mereka
menganggap bahwa selimut aneka ragam warna itu betuah, maka dengan beriba-iba
dimintanya selimut itu untuk dibagikan, diganti dengan selimut baru, tetapi
tidak aneka ragam.
Habislah
riwayat selimut sakti. Pada malam itu orang-orang desa mengantarkan ketan,
kelapa, gula enau, dan beras karena mereka ingin kenduri di pondok Pak Udak.
![]() |
Kenduri - coltoras1959.blogspot.com images |
Mereka yakin
bahwa Pak Udak telah direstui dewa-dewa, mungkin pula turunan dewa-dewa untuk
menunjukkan bahwa orang yang serong pasti akan hancur, walaupun seorang raja
sekalipun yang melakukannya.
Sejak itu
pula pandangan orang-orang desa terhadap Pak Udak yang selama ini dianggap
orang gene (tolol) menjadi berubah. Pandangan Pak Raje pun menjadi agak berubah
pula terhadap Pak Udak. (Vau-G/www.bapang007.blogspot.com).
1.
^ Amiruddin, Cerita-Cerita Purba dari Pulau
Bangka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1983.
No comments:
Post a Comment