Wednesday, 4 November 2015

Cerita Purba Bangka: Keluarga Pak Udak – Dalam Seri Kisah “ Selimut Sakti ( Bagian 4)”


“Uu…uuu…ampun dewakuu…matilah awak sekali ini, Udak…udak…lihatlah bapakmu puas-puas, dia akan mati dibunuh Pak Raje!” ratap Mak Udak.

Uu…tangis Mak Udak dan anaknya dengan sedih. Pak Udak keluar dari rumah dengan tenangnya seperti tidak terjadi apa-apa. Ia memikul tiruk dan tangguk seperti orang akan mencari ikan.Tangis anak-bininya tidak dihiraukannya.

Sampai di depan balai desa, di situlah pertandingan akan dilangsungkan. Orang ramai menyisih ke kiri dan ke kanan membuat sebuah lapangan gelanggang. Gendang panjang dan tawak-tawak (gong) dipalu tidak berhentinya seperti akan memainkan silat saja. Sebentar kemudian datanglah Pak Raje menyandang Nyiru dan memikul tombak serampang. Jenang (wasit) menyuruh Pak Udak mundur 15 langkah ke belakang. Pak Udak dan Pak Raje berhadap-hadapan. Ayo Pak Udak cagar-cagar (siap-siaplah) pertandingan akan segera dimulai.

Pak Udak terkejut sebab ia sedang terpesona dengan bunyi-bunyian yang sedang ditalu orang…tiruk dipegangnya di tangan kiri dan tangguk tangan kanan.

“Awas…Pak Udak!”teriak jenang sekali lagi. “ Sak (satu)…due…” Akan tetapi, Pak Udak terus saja menoleh ke arah pemalu gendang. “Awass…ti…ge…singgg!” Serampang melayang menuju dada Pak Udak. Penontong memejamkan mata…dukk…mata serampang beradu dengan dada Pak Udak yang berlilit tebal selimut aneka ragam. Namun tidak melukainya sedikit pun.

Mata serampang yang beruit melekat di selimutnya. Muka Pak Raje merah padam, “Hooooii…!” teriak penonton yang sangat gembira melihat  Pak Udak tidak cedera sedikitpun. “Ayo, Pak Udak balasss!” teriak mereka. “Belum boleh!” teriak Pak Raje. Aku menikam tiga kali, Pak Udak sekali. Demikian perjanjian sebab aku Raje!”. Penonton berbisik-bisik, Pak Raje ini memang belit (curang) masak ada janji-janji yang demikian.

“Siaaap…awas… Pak Udak…Sak…dua…tige…sing…!”. Pak Udak asyik menoleh kearah pemalu gendang, dukk…Lewat tiga jari di samping telinga kanan. Mata serampang melekat lagi di selimut aneka ragam. “Hoo…ho… Pak Udak disertoni (direstui) dewa-dewa!” teriak penonton dengan sangat gembira. “Selimut betuah (sakti)…selimut betuah!”teriak penonton. Diam…teriak Pak Raje, “Sekali ini Pak Udak mesti mampus!”

“Yang penghabisan awas… Pak Udak…jaga,” teriak jenang. Sak…due…selimut Pak Udak terlepas sedikit dari belitan pada lehernya, tiruk dilepaskan karena memperbaiki selimutnya tangan kiri memegang perisai agak ditinggikan menutupi tubuh, Tige…dukk…serampang menerjang tangguk, lekatlah matanya yang beruit selak anyaman tangguk.

“Hoo…hoo… Pak Udak selamatt…selamatt…!” teriak penonton riuh rendah. Sekarang giliranmu Pak Udak…giliranmu menikam dan tiruklah baik-baik. Awas Pak Raje… Sak…duee...Pak Raje bersiap dengan sombongnya, tigeee…sutt…tiruk melayang dengan lagak pendekar silat, Pak Raje menyambut tikaman dengan perisai nyiru.

Cuss…mata tiruk menembuk nyiru. “Aduuuiii…!” teriak Pak Raje dia terjerumus, tangannya tembus dilanda mata tiruk dari besi sebesar ibu jari kaki.

“Pak Udak menang…!” teriak penonton sambil berlari ke tengah gelanggang. Ada yang menepuk-nepuk bahunya, ada  yang tertawa-tawa, dan ada pula yang menangis gembira. Pak Udak mendekati Pak Raje yang terbaring pingsan dikerumuni orang ramai.

Itulah Pak Raje, aku memang tidak ingin main tikam-menikam begini sebab hanya ikan saja yang biasa ditiruk orang. “Ayo Pak Udak kita pulang!” kawan-kawannya menarik Pak Udak, lalu diantar pulang ke rumah. Pak Raje pulang dengan diusung.

Tumbuk Ketan - psychedelicurban.wordpress.com images
Berpuluh-puluh orang mengantarkan Pak Udak ke rumahnya, laksana mengantarkan pahlawan menang perang. Di pondok, Mak Udak sedang menumbuk padi ketan untuk selamatan buat arwah Pak Udak yang dianggapnya hari ini sudah dibunuh Pak Raje.

“Mak Udak….Mak Udak!” teriak orang-orang yang mengantar, “Ini Pak Udak, selamat dia menang. “ Uda…ooo..dak…wahai dewaku terima kasih, bapakmu selamat, anakku.” Bapakmu masih hidup.“ kata Mak Udak latah kegembiraan.

Lalu orang banyak menceritakan jalan pertandingan yang menurut mereka berbelit-belit. Akan tetapi, Tuhan masih melindungi orang yang benar,”kata mereka.

Mereka menganggap bahwa selimut aneka ragam warna itu betuah, maka dengan beriba-iba dimintanya selimut itu untuk dibagikan, diganti dengan selimut baru, tetapi tidak aneka ragam.
Habislah riwayat selimut sakti. Pada malam itu orang-orang desa mengantarkan ketan, kelapa, gula enau, dan beras karena mereka ingin kenduri di pondok Pak Udak.

Kenduri - coltoras1959.blogspot.com images
Mereka yakin bahwa Pak Udak telah direstui dewa-dewa, mungkin pula turunan dewa-dewa untuk menunjukkan bahwa orang yang serong pasti akan hancur, walaupun seorang raja sekalipun yang melakukannya.

Sejak itu pula pandangan orang-orang desa terhadap Pak Udak yang selama ini dianggap orang gene (tolol) menjadi berubah. Pandangan Pak Raje pun menjadi agak berubah pula terhadap Pak Udak. (Vau-G/www.bapang007.blogspot.com).


Referensi:
1.          ^ Amiruddin, Cerita-Cerita Purba dari Pulau Bangka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1983.

No comments:

Post a Comment