Friday, 30 October 2015

Cerita Purba Bangka: Keluarga Pak Udak – Dalam Seri Kisah “ Selimut Sakti ( Bagian 2)”


Beberapa hari ini, bubu Pak Udak kurang mengena hingga Pak Udak timbul pula rasa malasnya. Itulah Pak Udak, mungkin Dewa-Dewa marah, engkau melanggar pantang sebab itu Beliau marah. “Aok…aok!” jawab Pak Udak. Esok harinya pagi-pagi Pak Udak sudah ada di sungai melihat bubunya. Waktu bubu pertama diangkat hampir-hampir ia terpental ke belakang… geleduk…duk…duk…rak…rak…rak…seekor lalabi (labi-labi – sejenis kura-kura namun bercangkang lunak dan hidup di air tawar) tampak mencakar-cakar dinding bubu. Yang kedua diangkat pula…buk…buk…gruk…gruk…seekor pejuku ( sejenis kura-kura yang bercangkang keras dan dapat hidup di darat maupun air tawar) memukul-mukul dinding bubu. Kedua bubu itu dipikulnya ke darat…kelontak…kelotak diempaskannya ke tanah.

Pak Udak kebingungan bagaimana caranya membawa binatang-binatang itu. Dimasukkan ke dalam kambu tapi tak muat, Jika mau dipegang ia menggigit ataupun kadang-kadang menyembunyikan kepalanya. Lama ia termangu-mangu di pinggir sungai, kemudian bangkit membuka kain selimutnya. Binatang-binatang dibungkusnya dengan selimut. Kali ini ia naik ke pondok melalui tangga belakang, brak…didorongnya pintu dapur, kelontak…dilemparkan selimutnya ke lantai.

“Ada apa pula awak ini, adakah dapat ikan?”…celoteh Mak Udak. Ada nih…nih…”jawab Pak Udak. Mak Udak melihat selimut di lantai bergerak-gerak. “Ampuunnn…dewa!”…ku ampun apa pula mese ( barang belum dikenal) nih. Sambil kaget Mak Udak menarik kain yang terus bergerak ke sana ke mari. 

“Oo…apa  pula yang awak bawa ini,” teriak Mak Udak sambil membuka sarung itu,” La rusaak… ampun moyangku ampun…hancur selimut ini dicakar kek lalabi dan pejuku ini. Jangan khan diikat, memegangnya saja tak dapat. Jika tangan kita dekat dengan mulutnya, ia akan menggigit. Di raba dari belakang ia menyembunyikan kepalanya. Pejuku dan lalabi ini memang memiliki cara bertahan jika mereka ketakutan.

Pejuku - satwaunik.com images
Itulah gawe (kerja) awak ini sarung jadi tembus-tembus dicakar lalabi dan pejuku. Sebetulnya, jadilah untuk disayur. Tetapi kurang baik bagi kita. Ini hewan ternak Dewa Air. Yang harus memasaknya adalah Raja-raja juga. Kuterangkan pula bangsa binatang ini kepadamu. Pejuku ini dagingnya sedikit, sedangkan lalabi banyak dagingnya dan  lebih enak digulai. Jadi, bawaklah (bawa-lah) lalabi dan pejuku ini ke rumah Pak Raje minta tebusan. Lalabi ini tebusannya harus lebih besar daripada pejuku. 

Lalabi - arianidarmawan.net images
Aaanu… macam mana cara minta tebusan itu Mak Udak? Dengar, coba awak dengar baik-baik. Terhadap Raja-raja atau orang berpangkat, kita harus hormat dan kata-katanya mestilah teratur dan halus. Yang akan melayani awak nanti tentulah salah seorang dari ketujuh Putri. Pak Udakpun bergegas pergi ke tempat Pak Raje.

Apa tebusan yang kamu mintakan Pak Udak?” tukas Putri Tertua

“Entahlah Putri aku sudah lupa lagi!” Itu yang lup…ngul…(kepala pejuku disembunyikan bila ia takut) minta ditukar dengan kain yang buruk-buruk jadilah (boleh dengan kain-kain bekas).

“Ha…ha… alangkah nyanyoknya (linglung) engkau ini. Sudah kukatakan yang ini lalabi dan yang itu pejuku!” jelas Putri Tertua kepada Pak Udak.

Aaa…pikiran Pak Udak terang seperti di rumahnya sendiri. Kuk…abi-abi…kekura (kura-kura) lemah bingkai (cangkang lunak) lalabi tukar dengan padi dan pejuku dengan perca-perca di bawah lantai. Kata-kata ini diucapkan dengan khidmat hingga putri tua terpesona dan terharu.

Yah… aku sudah mengerti dan masukkan ke dalam kambu. Binatang-binatang itu dibawa oleh Putri Tertua ke dalam rumah, lama juga ia di rumah, kemudian keluar membawa sesumpit kecil padi yang bernas-bernas dan sehelai kain yang masih bagus. Nah Pak Udak inilah hasil tukaran untuk pejuku dan lalabi. Bawalah pulang padi dan kain yang masih bagus. Terima kasih atas kebaikanmu. Tidak mau putri, aku takut dimarahi Mak Udak. Aku hanya mau padi yang hampa-hampa dan perca-perca di bawah lantai saja.

 “Ooo…binimu takkan marah bawalah pulang tukaran binatang-binatangmu ini!” jawab Putri 

Tak mau putri, aku hanya mau seperti yang kupinta. Walaupun putri bersikeras, tetapi Pak Udak tetap tidak mau menerimanya yang akhirnya dengan terpaksa Putri Tertua mengalah lalu kembali ke rumah mengambil apa yang diminta oleh Pak Udak. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, barang tukaran itu diserahkannya. Pak Udak pulang dengan hati lega karena maksudnya sudah dapat terkabul. Mak Udak menyambut dengan hati yang gembira, gedebuk barang tukaran diempaskan oleh Pak Udak di dekat kaki bininya. 

Betapa terkejutnya…ampun dewaku ampun apa gunanya putri menukar dengan padi-padi yang begini, sedangkan ayam tak mau memakannya apalagi manusia.

Bungkusan satunya lagi dibuka, moyang…ampun aku…apa pula gunanya perca-perca begini? 

Anu… Mak Udak sebenar…nya, Putri akan memberikan aku padi yang bernas-bernas dan kain yang bagus, tttaa…pppii… aku…minta padi yang pampa-pampa (hampa-hampa) dan perca-perca di bawah lantai seperti katamu itu.

Itu bahasa basa-basi namanya. Memanglah awak ini…burr…perca-perca itu dituangkannya ke tubuh Pak Udak, tetapi padi tak mau ia membuangnya takut dikutuk Dewi Padi. Sambil menyingkirkan perca-perca yang menimbuni mukanya, berjalanlah Pak Udak melengos keluar rumah. Rupanya perca-perca itu masih banyak yang lebar-lebar dan kuat, sehingga dikumpulkan kembali oleh Mak Udak.

Keesokan hari, ia bersama Si Udak masuk ke rimba mencari akar pengerang. Dengan getah akar pengerang, potongan perca-perca tadi ditautkan lalu jadilah sehelai selimut lebar yang beraneka ragam warnanya. Selimut itu diberikan kepada Pak Udak yang diterimanya dengan sangat gembira, walaupun ia bertambah malas bangun pagi-pagi…(bersambung…) - (Vau-G/www.bapang007.blogspot.com).

Referensi:
1.          ^ Amiruddin, Cerita-Cerita Purba dari Pulau Bangka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1983.

No comments:

Post a Comment