Beberapa hari ini, bubu Pak Udak kurang mengena hingga Pak Udak timbul pula rasa malasnya. Itulah Pak Udak, mungkin Dewa-Dewa marah, engkau melanggar pantang sebab itu Beliau marah. “Aok…aok!” jawab Pak Udak. Esok harinya pagi-pagi Pak Udak sudah ada di sungai melihat bubunya. Waktu bubu pertama diangkat hampir-hampir ia terpental ke belakang… geleduk…duk…duk…rak…rak…rak…seekor lalabi (labi-labi – sejenis kura-kura namun bercangkang lunak dan hidup di air tawar) tampak mencakar-cakar dinding bubu. Yang kedua diangkat pula…buk…buk…gruk…gruk…seekor pejuku ( sejenis kura-kura yang bercangkang keras dan dapat hidup di darat maupun air tawar) memukul-mukul dinding bubu. Kedua bubu itu dipikulnya ke darat…kelontak…kelotak diempaskannya ke tanah.
Pak Udak
kebingungan bagaimana caranya membawa binatang-binatang itu. Dimasukkan ke
dalam kambu tapi tak muat, Jika mau dipegang ia menggigit ataupun kadang-kadang
menyembunyikan kepalanya. Lama ia termangu-mangu di pinggir sungai, kemudian
bangkit membuka kain selimutnya. Binatang-binatang dibungkusnya dengan selimut.
Kali ini ia naik ke pondok melalui tangga belakang, brak…didorongnya pintu
dapur, kelontak…dilemparkan selimutnya ke lantai.
“Ada apa
pula awak ini, adakah dapat ikan?”…celoteh Mak Udak. Ada nih…nih…”jawab Pak
Udak. Mak Udak melihat selimut di lantai bergerak-gerak. “Ampuunnn…dewa!”…ku
ampun apa pula mese ( barang belum dikenal) nih. Sambil kaget Mak Udak menarik
kain yang terus bergerak ke sana ke mari.
“Oo…apa pula yang awak bawa ini,” teriak Mak Udak
sambil membuka sarung itu,” La rusaak… ampun moyangku ampun…hancur selimut ini
dicakar kek lalabi dan pejuku ini. Jangan khan diikat, memegangnya saja tak
dapat. Jika tangan kita dekat dengan mulutnya, ia akan menggigit. Di raba dari
belakang ia menyembunyikan kepalanya. Pejuku dan lalabi ini memang memiliki
cara bertahan jika mereka ketakutan.
![]() | |
Pejuku - satwaunik.com images |
Itulah gawe (kerja) awak ini sarung jadi
tembus-tembus dicakar lalabi dan pejuku. Sebetulnya, jadilah untuk disayur.
Tetapi kurang baik bagi kita. Ini hewan ternak Dewa Air. Yang harus memasaknya
adalah Raja-raja juga. Kuterangkan pula bangsa binatang ini kepadamu. Pejuku
ini dagingnya sedikit, sedangkan lalabi banyak dagingnya dan lebih enak digulai. Jadi, bawaklah (bawa-lah) lalabi dan pejuku
ini ke rumah Pak Raje minta tebusan. Lalabi ini tebusannya harus lebih besar
daripada pejuku.
![]() |
Lalabi - arianidarmawan.net images |
Aaanu… macam mana cara minta tebusan itu Mak Udak? Dengar,
coba awak dengar baik-baik. Terhadap Raja-raja atau orang berpangkat, kita
harus hormat dan kata-katanya mestilah teratur dan halus. Yang akan melayani
awak nanti tentulah salah seorang dari ketujuh Putri. Pak Udakpun bergegas
pergi ke tempat Pak Raje.
Apa tebusan
yang kamu mintakan Pak Udak?” tukas Putri Tertua
“Entahlah
Putri aku sudah lupa lagi!” Itu yang lup…ngul…(kepala pejuku disembunyikan bila
ia takut) minta ditukar dengan kain yang buruk-buruk jadilah (boleh dengan
kain-kain bekas).
“Ha…ha…
alangkah nyanyoknya (linglung) engkau ini. Sudah kukatakan yang ini lalabi dan
yang itu pejuku!” jelas Putri Tertua kepada Pak Udak.
Aaa…pikiran
Pak Udak terang seperti di rumahnya sendiri. Kuk…abi-abi…kekura (kura-kura)
lemah bingkai (cangkang lunak) lalabi tukar dengan padi dan pejuku dengan perca-perca
di bawah lantai. Kata-kata ini diucapkan dengan khidmat hingga putri tua
terpesona dan terharu.
Yah… aku
sudah mengerti dan masukkan ke dalam kambu. Binatang-binatang itu dibawa oleh Putri
Tertua ke dalam rumah, lama juga ia di rumah, kemudian keluar membawa sesumpit
kecil padi yang bernas-bernas dan sehelai kain yang masih bagus. Nah Pak Udak
inilah hasil tukaran untuk pejuku dan lalabi. Bawalah pulang padi dan kain yang
masih bagus. Terima kasih atas kebaikanmu. Tidak mau putri, aku takut dimarahi
Mak Udak. Aku hanya mau padi yang hampa-hampa dan perca-perca di bawah lantai
saja.
“Ooo…binimu takkan marah bawalah pulang tukaran binatang-binatangmu ini!”
jawab Putri
Tak mau
putri, aku hanya mau seperti yang kupinta. Walaupun putri bersikeras, tetapi
Pak Udak tetap tidak mau menerimanya yang akhirnya dengan terpaksa Putri Tertua
mengalah lalu kembali ke rumah mengambil apa yang diminta oleh Pak Udak. Sambil
menggeleng-gelengkan kepala, barang tukaran itu diserahkannya. Pak Udak pulang
dengan hati lega karena maksudnya sudah dapat terkabul. Mak Udak menyambut
dengan hati yang gembira, gedebuk barang tukaran diempaskan oleh Pak Udak di dekat
kaki bininya.
Betapa
terkejutnya…ampun dewaku ampun apa gunanya putri menukar dengan padi-padi yang
begini, sedangkan ayam tak mau memakannya apalagi manusia.
Bungkusan satunya lagi dibuka,
moyang…ampun aku…apa pula gunanya perca-perca begini?
Anu… Mak
Udak sebenar…nya, Putri akan memberikan aku padi yang bernas-bernas dan kain
yang bagus, tttaa…pppii… aku…minta padi yang pampa-pampa (hampa-hampa) dan
perca-perca di bawah lantai seperti katamu itu.
Itu bahasa basa-basi namanya. Memanglah
awak ini…burr…perca-perca itu dituangkannya ke tubuh Pak Udak, tetapi padi tak
mau ia membuangnya takut dikutuk Dewi Padi. Sambil menyingkirkan perca-perca
yang menimbuni mukanya, berjalanlah Pak Udak melengos keluar rumah. Rupanya
perca-perca itu masih banyak yang lebar-lebar dan kuat, sehingga dikumpulkan
kembali oleh Mak Udak.
Keesokan hari, ia bersama Si Udak masuk ke rimba mencari
akar pengerang. Dengan getah akar pengerang, potongan perca-perca tadi ditautkan
lalu jadilah sehelai selimut lebar yang beraneka ragam warnanya. Selimut itu
diberikan kepada Pak Udak yang diterimanya dengan sangat gembira, walaupun ia bertambah
malas bangun pagi-pagi…(bersambung…) - (Vau-G/www.bapang007.blogspot.com).
1.
^ Amiruddin, Cerita-Cerita Purba dari Pulau
Bangka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1983.
No comments:
Post a Comment