Wednesday, 28 October 2015

Cerita Purba Bangka: Keluarga Pak Udak – Dalam Seri Kisah “ Selimut Sakti ( Bagian 1)”


Di dalam dapur, cahaya tampak samar-samar. Hidangan yang akan mereka santap, samar-samar pula tampaknya. Di atas tikar duduk bersila keluarga Pak Udak yang terdiri dari Pak Udak, Mak Udak dan Si Udak anak mereka satu-satunya.

Ketika mereka sedang makan, Si Udak merengek-rengek, “Mana ikan,Mak… mana ikannya ?”… Ayolah Dak, makanlah…walaupun engkau menangis sepanjang kampung, tak akan mungkin ada ikan datang sendiri ke timpakmu (piring nasi yang terbuat dari anyaman)!” pungkas Mak Udak. Dak nek (tidak mau)…Mak… lempah keladi terus tiap hari.” balas Si Udak.

Bising (banyak bicara) engkau ni, icak-icak (pura-pura) tak mau makan lempah keladi?”… akhirnya habis juga bertimpak-timpak nasi masuk perutmu!” Setelah puas Si Udak membalik-balik lempah keladi itu, tetapi sisik ikan-pun tak bersua. Makanlah ia hingga tiga kali menambah nasi, makannya pun selesailah, ditutup dengan merenguk air dingin setengah budung (tempat air dari batok kelapa yang dilobangi seperempatnya).
 
Si Udak bangkit lalu menuju beranda pondok. Eekk…ee… terdengar bunyi kerongkongannya, tanda kekenyangan. Selama waktu makan itu, Pak Udak diam saja terus menyuap nasi…suapnya bertalu-talu (susul-menyusul). Russ…russs… ia menghirup kuah lempah keladi. Makannya disudahi dengan air dingin setengah budung sambil mengendurkan lipatan kain sarungnya. 

“Itulah Pak, kalau kurang usaha, tiap kali makan ditangisi anakmu ingin makan ikan… saja.” Kata Mak Udak. Awak ini kalaulah habis musim, cuma nyunggau (berbaring telentang sambil kaki ditopang ke kaki yang satunya)  saja. Nyunggau menghitung kasau (kayu-kayu pondok) tak berguna itu saja kerjamu! Lihat Pak, ke sungai masang bubu (memasang perangkap ikan), ke rimba mencari madu, lauk dapat, manisan dapat. Dak malu awak ini didengar orang, anak nangis terus setiap kali waktu makan. Coba-cobalah awak masang bubu, sekarang ini musim ikan bertelur,” kata istrinya. Mulut Pak Udak melongo, mendengar kuliah bininya, matanya melotot menatap mata bininya hampir tak berkedip.

“Awak dengar ndak Pak Udak? Melongoooo…,” bentak Mak Udak geram melihat lakinya yang sedikitpun tak mendengar ocehannya itu. Yang sebenarnya perut Pak Udak terlalu kenyang hingga tak dapat berpikir luas.”Anu…anu… Mak Udak ngulau ( mengomel), tadi ngulau apa?”…Dengar dulu benar-benar, besok pagi baiknya awak menahan bubu. Kalau-kalau ada rezeki. Awak tak malu, anak selalu minta ikan saban kali waktu makan..!” tukas Mak Udak. “Aoklah Mak Udak.”jawab Pak Udak sambil bangkit dengan lutut terhuyung-huyung kekenyangan menuju serambi. Malam telah gelap mereka pun terlelap dengan nyenyaknya.

Pak Udak…hoi…bangunlah…lihatlah matahari sudah tinggi. Eee…ooo…ee…oo… ia mengeliat-geliat. Bangunlah hari sudah tinggi…kelak kusiram awak dengan air ini.” teriak Mak udak.

Pak Udak bangkit lalu duduk menggosok-gosok matanya. Pergilah makan dulu, tua-tua masih malas bangun pagi. Pak Udak pergi ke dapur menyergap rebus keladi, cepat sekali ia makan hingga hampir ia tercekik.

“Kalau awak selesai makan pergilah memotong buluh (kayu bambu), belah di sanalah baru kau bawa pulang,” kata istrinya.

“Aok..aok…,” jawab Pak Udak sambil menjinjit parang dan buru-buru turun dari rumahnya. Setelah selesai menebang buluh dan sudah dibelah-belah, pulanglah ia selekasnya.

Buk…buk… buluh itu diempaskannya di samping rumah.

Mak Udak terkejut melihat buluh yang dibawa Pak Udak. Ia menjerit ampun Dewa…”Bukan buluh ini yang harus dibuat bubu. Buluh geligit yang baik untuk dibuat bubu. Ikutlah aku mari kutunjukkan tempat buluh geligit yang baik untuk dibuat bubu,” bentak Mak Udak sambil turun membawa parang. Pak Udak turun mengikuti istrinya dari belakang. Tidak berapa lama mereka berjalan sampailah ke hutan geligit itu, tidak berapa lama menebang, sudah banyak geligit yang terkumpul. Resam (sejenis tanaman perdu) pun siap diambil untuk penjalin geligit. Geligit itu dibelah-belah dan Mak Udak dengan terampil sibuk menjalin bilah-bilah bubu. Sesudah makan siang, selesailah dua buah bubu.



“Nah…Pak… Udak pergilah ke sungai pasanglah bubu ini baik-baik. Rapat-rapat membuat bidainya tutup dengan daun-daun kayu supaya ikan-ikan jangan lolos!” Aoklah…jawab Pak Udak sambil berjalan memikul bubunya ke sungai.

Dinihari Pak Udak sudah bangun, langsung ke sungai melihat hasil bubunya. Bininya gembira karena Pak Udak sudah suka bangun pagi. Sampai di sungai, menceburlah Pak Udak ke dalam sungai langsung mengangkat bubu dari dalam air. Rrrtt…mata Pak Udak melotot… seekor ikan pun tak tampak hanya kelihatan berpuluh-puluh ekor ketam ( kepiting) sungai mengisi bubunya. Ketam-ketam itu dimasukkannya ke dalam kambu (keranjang tertutup) lalu dibawanya pulang dengan gembiranya. Isi kedua bubu itu hanya ketam-ketam saja hasilnya. Oleh karena gembiranya, Pak Udak berlari-lari pulang ke pondoknya. Si Udak menunggu di halaman pondok, “Banyak dapat ikan, Pak?” tanya si Udak. “O…ikan tidak ada,Dak. Tapi ketam banyak sekali!” seloroh Pak Udak. “Mak…ketam mak ketam…ketam mak…Udak menari-nari di belakang bapaknya.” teriak Si Udak dengan girang. “Hai anak kurang ajar… mengapa kau katakan aku Mak Ketam? Awakkah yang mengajar si Udak mengatakan aku Mak Ketam?” bentak Mak Udak dari dalam.

Aku tak… mengajar dia Mak Udak, lihatlah banyak ketam kudapat.

“Ooo…inilah sebab si Udak menari-nari itu rupanya. Mana ikannya?” “Tak ada yang kena, barangkali awak salah menahan bubu itu, muka bubu haruslah menghadap ke hilir, ikan mudik pada malam hari. Jika awak menahan bubu menghadap ke hulu maka hanyalah ketam-ketam yang masuk, tetapi boleh saja daripada pulang kosong, “ kata Mak Udak.

“Ketam-ketam ini gemuk-gemuk, sayang dagingnya hanya sedikit. Sesudah makan akan kulihat ke sungai bagaimana caranya awak memasang bubu itu!” sambung Mak Udak. Perasaan Pak Udak agak senang karena bininya tidak marah-marah. Tidak lama sesudah makan berangkatlah kedua orang laki-bini itu menuju sungai. Patuut,…memang salah awak menahan bubu ini. Setelah selesai memperbaiki letak bubu-bubu, mereka-pun pulang.

Seperti kemarin pula Pak Udak pagi-pagi telah ada di sungai. Bubu diangkatnya per…perr… berpuluh-puluh ikan kepatong sebesar telapak tangan masuk ke dalam bubu.

Pak Udak menuangkan ikan-ikan itu ke tanah, banyak diantaranya ada yang sudah mati. Yang masi hidup dimasukkan Pak Udak ke dalam kambu, lalu buru-buru ia pulang ke rumah dengan gembiranya.

 “Lihatlah Mak Udak, banyak sekali ikan yang kena bubu. Itulah jika kita tak salah memasangnya. Anu…anu…Mak Udak yang besar-besar seperti papan pegaram ( alat untuk membuat sambal terasi) kutinggal di sungai sebab katamu dulu ikan kepatong besar punya dewa-dewa untuk papan pegaram dewa-dewa!” tukas Pak Udak. “ La… gawat name ne (sudah kacau urusan ini), kapan ku madah ( saya mengatakan) begitu?” sambut Mak Udak.

 “Ayolah Udak kita ke sungai sebentar mengambil ikan-ikan yang ditinggalkan Bapak!” ajak Mak Udak. Berlari-lari terengah-engah sampailah mereka ke sungai, ikan-ikan yang bertebaran mereka pungut, untunglah Akek-Nek ( Kakek – Nenek penunggu di suatu tempat) di sini tidak menyuruh ikan-ikan ini lari kembali ke sungai. Sampai di rumah segeralah ikan itu dimasak dan makan besarlah mereka sehari itu…(bersambung…) - (Vau-G/www.bapang007.blogspot.com).

Referensi:
1.      ^ Amiruddin, Cerita-Cerita Purba dari Pulau Bangka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1983. 
2.      ^   http://world-of-fisheries.blogspot.co.id (gambar)

No comments:

Post a Comment