Di dalam dapur, cahaya tampak samar-samar. Hidangan yang akan mereka santap, samar-samar pula tampaknya. Di atas tikar duduk bersila keluarga Pak Udak yang terdiri dari Pak Udak, Mak Udak dan Si Udak anak mereka satu-satunya.
Ketika
mereka sedang makan, Si Udak merengek-rengek, “Mana ikan,Mak… mana ikannya ?”…
Ayolah Dak, makanlah…walaupun engkau menangis sepanjang kampung, tak akan
mungkin ada ikan datang sendiri ke timpakmu
(piring nasi yang terbuat dari anyaman)!” pungkas Mak Udak. Dak nek (tidak mau)…Mak… lempah keladi
terus tiap hari.” balas Si Udak.
“Bising (banyak bicara) engkau ni, icak-icak (pura-pura) tak mau makan
lempah keladi?”… akhirnya habis juga bertimpak-timpak
nasi masuk perutmu!” Setelah puas
Si Udak membalik-balik lempah keladi itu, tetapi sisik ikan-pun tak bersua.
Makanlah ia hingga tiga kali menambah nasi, makannya pun selesailah, ditutup
dengan merenguk air dingin setengah budung
(tempat air dari batok kelapa yang dilobangi seperempatnya).
Si Udak bangkit
lalu menuju beranda pondok. Eekk…ee… terdengar bunyi kerongkongannya, tanda
kekenyangan. Selama waktu makan itu, Pak Udak diam saja terus menyuap
nasi…suapnya bertalu-talu (susul-menyusul).
Russ…russs… ia menghirup kuah lempah keladi. Makannya disudahi dengan air
dingin setengah budung sambil mengendurkan lipatan kain sarungnya.
“Itulah Pak,
kalau kurang usaha, tiap kali makan ditangisi anakmu ingin makan ikan… saja.”
Kata Mak Udak. Awak ini kalaulah habis musim, cuma nyunggau (berbaring telentang sambil kaki ditopang ke kaki yang
satunya) saja. Nyunggau menghitung kasau
(kayu-kayu pondok) tak berguna itu saja kerjamu! Lihat Pak, ke sungai masang bubu (memasang perangkap ikan), ke rimba mencari madu, lauk dapat,
manisan dapat. Dak malu awak ini
didengar orang, anak nangis terus setiap kali waktu makan. Coba-cobalah awak
masang bubu, sekarang ini musim ikan bertelur,” kata istrinya. Mulut Pak Udak
melongo, mendengar kuliah bininya, matanya melotot menatap mata bininya hampir
tak berkedip.
“Awak dengar
ndak Pak Udak? Melongoooo…,” bentak Mak Udak geram melihat lakinya yang
sedikitpun tak mendengar ocehannya itu. Yang sebenarnya perut Pak Udak terlalu
kenyang hingga tak dapat berpikir luas.”Anu…anu… Mak Udak ngulau ( mengomel), tadi ngulau
apa?”…Dengar dulu benar-benar, besok pagi baiknya awak menahan bubu.
Kalau-kalau ada rezeki. Awak tak malu, anak selalu minta ikan saban kali waktu
makan..!” tukas Mak Udak. “Aoklah Mak Udak.”jawab Pak Udak sambil bangkit
dengan lutut terhuyung-huyung kekenyangan menuju serambi. Malam telah gelap
mereka pun terlelap dengan nyenyaknya.
Pak
Udak…hoi…bangunlah…lihatlah matahari sudah tinggi. Eee…ooo…ee…oo… ia
mengeliat-geliat. Bangunlah hari sudah tinggi…kelak kusiram awak dengan air
ini.” teriak Mak udak.
Pak Udak
bangkit lalu duduk menggosok-gosok matanya. Pergilah makan dulu, tua-tua masih
malas bangun pagi. Pak Udak pergi ke dapur menyergap rebus keladi, cepat sekali
ia makan hingga hampir ia tercekik.
“Kalau awak
selesai makan pergilah memotong buluh (kayu
bambu), belah di sanalah baru kau bawa pulang,” kata istrinya.
“Aok..aok…,”
jawab Pak Udak sambil menjinjit parang dan buru-buru turun dari rumahnya.
Setelah selesai menebang buluh dan
sudah dibelah-belah, pulanglah ia selekasnya.
Buk…buk… buluh itu diempaskannya di samping
rumah.
Mak Udak
terkejut melihat buluh yang dibawa
Pak Udak. Ia menjerit ampun Dewa…”Bukan buluh
ini yang harus dibuat bubu. Buluh geligit yang baik untuk dibuat bubu. Ikutlah aku mari kutunjukkan
tempat buluh geligit yang baik untuk
dibuat bubu,” bentak Mak Udak sambil turun membawa parang. Pak Udak turun
mengikuti istrinya dari belakang. Tidak berapa lama mereka berjalan sampailah
ke hutan geligit itu, tidak berapa lama menebang, sudah banyak geligit yang
terkumpul. Resam (sejenis tanaman
perdu) pun siap diambil untuk penjalin geligit. Geligit itu dibelah-belah dan
Mak Udak dengan terampil sibuk menjalin bilah-bilah bubu. Sesudah makan siang, selesailah dua buah bubu.
“Nah…Pak…
Udak pergilah ke sungai pasanglah bubu
ini baik-baik. Rapat-rapat membuat bidainya
tutup dengan daun-daun kayu supaya ikan-ikan jangan lolos!” Aoklah…jawab Pak
Udak sambil berjalan memikul bubunya
ke sungai.
Dinihari Pak
Udak sudah bangun, langsung ke sungai melihat hasil bubunya. Bininya gembira karena Pak Udak sudah suka bangun pagi.
Sampai di sungai, menceburlah Pak Udak ke dalam sungai langsung mengangkat bubu dari dalam air. Rrrtt…mata Pak Udak
melotot… seekor ikan pun tak tampak hanya kelihatan berpuluh-puluh ekor ketam ( kepiting) sungai mengisi bubunya. Ketam-ketam itu dimasukkannya
ke dalam kambu (keranjang tertutup)
lalu dibawanya pulang dengan gembiranya. Isi kedua bubu itu hanya ketam-ketam
saja hasilnya. Oleh karena gembiranya, Pak Udak berlari-lari pulang ke
pondoknya. Si Udak menunggu di halaman pondok, “Banyak dapat ikan, Pak?” tanya si
Udak. “O…ikan tidak ada,Dak. Tapi ketam banyak sekali!” seloroh Pak Udak. “Mak…ketam
mak ketam…ketam mak…Udak menari-nari di belakang bapaknya.” teriak Si Udak
dengan girang. “Hai anak kurang ajar… mengapa kau katakan aku Mak Ketam?
Awakkah yang mengajar si Udak mengatakan aku Mak Ketam?” bentak Mak Udak dari
dalam.
Aku tak…
mengajar dia Mak Udak, lihatlah banyak ketam kudapat.
“Ooo…inilah
sebab si Udak menari-nari itu rupanya. Mana ikannya?” “Tak ada yang kena,
barangkali awak salah menahan bubu
itu, muka bubu haruslah menghadap ke
hilir, ikan mudik pada malam hari. Jika awak menahan bubu menghadap ke hulu maka hanyalah ketam-ketam yang masuk, tetapi
boleh saja daripada pulang kosong, “ kata Mak Udak.
“Ketam-ketam
ini gemuk-gemuk, sayang dagingnya hanya sedikit. Sesudah makan akan kulihat ke
sungai bagaimana caranya awak memasang bubu itu!” sambung Mak Udak. Perasaan
Pak Udak agak senang karena bininya tidak marah-marah. Tidak lama sesudah makan
berangkatlah kedua orang laki-bini itu menuju sungai. Patuut,…memang salah awak
menahan bubu ini. Setelah selesai
memperbaiki letak bubu-bubu, mereka-pun
pulang.
Seperti
kemarin pula Pak Udak pagi-pagi telah ada di sungai. Bubu diangkatnya per…perr… berpuluh-puluh ikan kepatong sebesar
telapak tangan masuk ke dalam bubu.
Pak Udak menuangkan ikan-ikan itu ke
tanah, banyak diantaranya ada yang sudah mati. Yang masi hidup dimasukkan Pak
Udak ke dalam kambu, lalu buru-buru
ia pulang ke rumah dengan gembiranya.
“Lihatlah Mak Udak, banyak sekali ikan
yang kena bubu. Itulah jika kita tak
salah memasangnya. Anu…anu…Mak Udak yang besar-besar seperti papan pegaram ( alat untuk membuat sambal
terasi) kutinggal di sungai sebab katamu dulu ikan kepatong besar punya
dewa-dewa untuk papan pegaram
dewa-dewa!” tukas Pak Udak. “ La… gawat
name ne (sudah kacau urusan ini), kapan ku
madah ( saya mengatakan) begitu?”
sambut Mak Udak.
“Ayolah Udak kita ke sungai sebentar mengambil ikan-ikan yang
ditinggalkan Bapak!” ajak Mak Udak. Berlari-lari terengah-engah sampailah
mereka ke sungai, ikan-ikan yang bertebaran mereka pungut, untunglah Akek-Nek ( Kakek – Nenek penunggu di
suatu tempat) di sini tidak menyuruh ikan-ikan ini lari kembali ke sungai.
Sampai di rumah segeralah ikan itu dimasak dan makan besarlah mereka sehari itu…(bersambung…)
- (Vau-G/www.bapang007.blogspot.com).
1. ^ Amiruddin, Cerita-Cerita
Purba dari Pulau Bangka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1983.
2. ^ http://world-of-fisheries.blogspot.co.id (gambar)
No comments:
Post a Comment