Monday 23 November 2015

Sembahyang Bulan Orang Tionghoa Bangka

Setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek, masyarakat Tionghoa Bangka, khususnya suku Khek (Hakka) yang beragama Konghucu,  memiliki tradisi sembahyang Bulan. Peringatan ini dikenal dalam bahasa khek dengan istilah Pat Ngiat Pan (八月半). Secara harafiah berarti pertengahan bulan delapan.

Pertengahan bulan 8 dalam penanggalan Imlek merupakan puncak dari musim gugur di belahan bumi bagian utara. Dirayakan dengan meriah menjadi festival pertengahan musim gugur atau Mid Autumn Festival ( Zhong Qiu Jie - 中秋節 ).Perayaan ini merupakan perayaan musim karena kedekatan masyarakan Tionghoa dengan alam.  Pada festival pertengahan musim gugur, kondisi udara tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Sehingga ada pepatah “ Angin Musim Gugur Mengusap Wajah -风拂面). Bulan purnama terlihat paling terang dan berukuran lebih besar. Hal ini diakibatkan jarak bumi ke bulan yang berada pada posisi terdekat dalam sepanjang tahun.

Di Tiongkok terdapat peninggalan sejarah berupa "Altar Sembahyang Bulan", "Serambi Sembahyang Bulan" dan "Gedung Menikmati Bulan". Sedangkan "Kuil Bulan" () yang terletak di sebelah barat kota Beijing, adalah sebuah bangunan khusus untuk upacara sembahyang bulan yang dibangun pada masa Dinasti Ming (1368-1644 Masehi). 

Suasana perayaan pada zaman dahulu, sebelum adanya penerangan lampu oleh listrik, orang-orang Tionghoa Bangka memasang lampion terang berisi lilin. Lampion ini ramai menghiasi malam yang  tergantung di tiang-tiang rumah. Terang bulan purnama, membuat orang senang untuk duduk-duduk di luar rumah, bersenda gurau, berbincang-bincang, dan khususnya anak-anak sangat riang gembira, berlari-lari dan bermain kesana kemari.

Kue Bulan Khas Bangka - @Litha2407-twitter.com images
Sembahyang bulan dapat dilakukan di tempat-tempat ibadah  di klenteng. Dapat pula di halaman rumah. Untuk merayakannya, mereka akan menikmati kue bulan ( Ngiat Kong Pan -月光粄)  , yaitu salah satu kue khas Tionghoa Bangka yang berbentuk bulat yang melambangkan terangnya bulan menyinari bumi ditambah hiasan ukiran serta manis rasanya. Biasanya hiasan ukiran dengan gambar seorang wanita yang melayang ke bulan. Wanita itu adalah Chang’e - 嫦娥 atau Chong Ngo  -客家(dialek Khek)

Pada saat Sembahyang Bulan terdapat air yang selalu tersaji dengan lima macam bunga yang melambangkan kehidupan. Lima bunga tersebut adalah mawar, sepatu, kenanga, melati dan teratai. Setelah sembahyang selesai, air bunga tersebut untuk mandi. Air bunga ini dipercaya dapat menghilangkan nasib sial dan mencerahkan wajah seperti Sang Dewi Bulan.

Dahulu, sembahyang bulan banyak dilakukan oleh perempuan untuk memohon kecantikan, namun seiring perkembangan zaman, kaum laki-laki juga melaksanakan sembahyang ini. Para perempuan mempersembahkan bedak, sedangkan laki-laki meletakkan minyak wangi. Kedua persembahan ini akan dipergunakan sehari-hari.

Persembahan yang wajib saat sembahyang bulan selain kue bulan adalah buah kelapa dan tebu. Ini sehubungan dengan makanan yang biasa disantap oleh Sang Dewi Bulan. Selain itu terdapat 3 macam sayur dan buah-buahan.

Dewi bulan yang identik sebagai simbol “Dewi Kecantikan” membuat sebagian umat Konghucu menyakini bahwa persembahan alat kecantikan yang kemudian dipergunakan  untuk keperluan sehari-hari akan menambah kecantikan yang menggunakannya, seperti bedak, sabun, minyak wangi, lotion atau sejenisnya. Ini adalah satu dari banyak versi seputar kisah sembahyang bulan.

Sayangnya ritual yang selalu diperingati pada bulan delapan hari ke 15 malam penanggalan Tionghoa ini, kini terlihat tidak banyak lagi yang melaksanakannya. Ritual sembahyang ini masih ramai diadakan di daerah Belinyu dan Jebus.

Kue Bulan berbentuk Pia - pariwisata.frontroll.com images
Namun, tradisi untuk menyantap kue bulan tetap berjalan. Saat sembahyang bulan banyak warga yang berburu kue bulan, meskipun tidak melakukan sembahyang. Ada pula kue bulan yang berbentuk seperti kue pia dan berisi kacang hijau.


Kue Bulan Bangka - Kue Gampang-Gampang Susah

Kue bulan terbuat dari sekitar 80 persen beras ketan hitam dan 20 persen gula pasir. Bahannya cukup sederhana, namun proses pembuatannya terbilang gampang-gampang susah.

Proses pembuatan diawali dengan beras ketan direndam. Setelah direndam, beras ketan dicuci dan ditiriskan. Selanjutnya disangrai dengan campuran pasir halus dari pantai. Tujuannya adalah agar panas yang dihasilkan merata. Sehingga tidak ada beras ketan yang gosong.
Setelah disangrai, beras ketan yang telah bercampur pasir halus pantai itu disaring. Pada proses inilah beras ketan dan pasir akan terpisah satu sama lainnya. Kemudian beras ketan digiling menjadi tepung.

Sedangkan gula pasir dimasak dengan air secukupnya hingga mengental, ditambah sedikit cuka dan essense. Campuran air gula tersebut dicampur dengan tepung ketan. Adonan yang tercampur kemudian dicetak dengan cetakan kayu. Pada cetakan terdapat ukiran. Untuk mencetaknya, adonan pada cetakan harus ditekan agar hasilnya menjadi padat. Untuk bagian dalam kue bulan, diisi dengan wijen dan buah kundur yang telah diolah jadi manisan dan dipotong ukuran kecil.

Dulu rata-rata masyarakat Bangka membuat kue bulan sendiri,namun sekarang sudah jarang dan lebih banyak membeli. Kue bulan memiliki rasa manis. Oleh karena itu, untuk menikmatinya sangat cocok jika ditemani dengan kuaci, kacang dan teh pahit. Ukuran kue bulan ada yang kecil dan ada pula yang besar.

Sungguh asyik menikmati manisnya kue bulan, kuaci, kacang dan teh pahit di halaman rumah di bawah naungan terang bulan purnama. Sambil berkumpul ria dengan keluarga . bersenda gurau dan bercerita mengenai legenda Sang Dewi Bulan …(Vau-G/www.bapang007.blogspot.com).

Referensi:
1.          ^ Rika Theo dan Fennie Lie, Kisah Kultur dan Tradisi Tionghoa Bangka, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2014.
2.          ^ Pat Ngiat Pan八月半 Hari Raya Thong Ngin Bangka Belitung, https://bukjam.wordpress.com/2010/09/22/pat-ngiat-pan-%E5%85%AB%E6%9C%88%E5%8D%8A-hari-raya-thong-ngin-bangka-belitung/, bukjam.wordpress.com,  diakses 21 November 2015, Jam 23.15 WIB.
3.          ^ Dongeng Tentang Asal Usul Hari Tiong Ciu, http://indonesian.cri.cn/441/2009/09/15/1s101604.htm, CRI Online, diakses 21 November 2015, Jam 23.45 WIB.

No comments:

Post a Comment