Tuesday, 17 November 2015

Legenda Chang'e Sang Dewi Bulan ( Bagian 1)



Chang'e Sang Dewi Bulan - arlesmarten.wordpress.com images

Legenda Chang’e  ke bulan amat populer di kalangan masyarakat Tionghoa, baik di daratan china maupun di perantauan. Setiap tahun dikenang bahkan menjadi sumber inspirasi para pujangga terkenal sepanjang sejarah.

Dahulu kala di jagat raya ini terdapat sepuluh matahari, mereka semua tinggal di atas pohon langit yang amat besar di sebelah barat, setiap hari secara bergiliran salah satu matahari berangkat ke istana di sebelah timur. Pada waktu setengah hari mereka balik kembali ke sebela barat, maka terjadilah pergantian waktu dari pagi, siang dan malam.

Suatu petang, salah satu matahari berkata kepada saudara-saudaranya. Setelah menunggu 10 hari, akhirnya besok giliran aku ke Istana Timur. Sungguh menyenangkan!”

Namun ke-sembilan saudaranya ingin mengikuti juga. Karena merasa bosan hanya menunggu giliran. Rasa angkuh sebagai putra Kaisar Langit, membuat  mereka berpikir bahwa tidak akan ada yang berani melarang.

Terjadi perpindahan bertahap dari hari pertama terdapat 2 matahari sampai akhirnya ada 10 matahari yang berada di Istana Timur. Hal ini mengakibatkan panas terik dan cahaya yang terang benderang di bumi.

Kaisar Langit mendapat laporan dari Dewa Bumi telah terjadi  bencana kekeringan yang hebat. Korban telah berjatuhan dimana-mana. Dewa Bumi memohon Kaisar Langit untuk  mengatasi masalah 10 matahari ini.

Kaisar Langit bagai kebakaran jengggot. Segera ia memerintahkan Hou Yi  bersama istrinya Chang’ e di utus turun ke bumi, membantu rakyat mengatasi bencana.

Hou Yi adalah seorang Dewa ahli panah yang kekar perkasa  sedangkan Chang’e si Dewi cantik tiada duanya menjelma menjadi manusia turun ke bumi. Mereka mendapat sambutan hangat dari rakyat. Mereka di usung dan diarak berkeliling ke seluruh pelosok. Setelah itu, mereka diberi tempat tinggal sederhana di sebuah lembah yang sejuk dan nyaman.

Seorang sesepuh menunjukkan situasi di bumi kepada Hou Yi. Bumi menjadi gersang kering kerontang, bagaikan tempurung kura-kura raksasa. Danau dan sungai tidak berair, tanaman menjadi hangus, binatang-binatang ternak mati kelaparan dan banyak rakyat yang menderita. Sedangkan sepuluh matahari tetap bergantung di langit memancarkan cahaya tajam dan panas terik.

Hou Yi melihat seluruh kejadian itu, hatinya sangat iba. Segera Hou Yi mendaki Gunung Tienshan dan berbicara dengan sepuluh matahari. Hou Yi meminta pengertian kepada para matahari untuk terbit secara bergiliran demi rasa kasih sayang kepada semua makhluk di bumi. Namun para matahari tidak mengubris penjelasan Hou Yi. Mereka merasa sebagai putra Kaisar Langit, tiada seorangpun boleh menentang keinginan mereka.

Dengan sombongnya mereka mulai mengeluarkan sinarnya ke bumi yang mengakibatkan semakin banyak tanaman yang terbakar, binatang berlarian menghindar, dan manusia berebutan menyelamatkan diri masing-masing.

Melihat perbuatan mereka, dengan berat hati Hou Yi mulai membentangkan busur ajaib berwarna merah padam seberat 10 ton, lalu mengeluarkan anak panah yang beratnya 1 ton berwarna putih mengkilat untuk dibidikkan kepada salah satu matahari. Segera anak panah dilepaskan, dan terdengar suara “ siuut” melejit bagaikan petir dan tak lama terdengar suara “Baangg…”yang menggelegar amat dashyat.

Sebuah matahari jatuh meluncur ke bumi, sekejap terdengar lagi suara “Buuk!” …Dan bumipun bergetar hebat. Sebuah lobang besar terbentuk oleh matahari yang jatuh terpanah. Setelah api matahari padam,  orang-orang datang mengerumuni. Terlihat di dalam lubang tergeletak seekor burung gagak berkaki tiga. Ternyata putra Kaisar Langit adalah seekor burung gagak yang berapi.
Satu persatu matahari di panah jatuh dan semuanya berubah menjadi burung gagak berkaki tiga. 

Ketika hendak memanah yang ke-10, sesepuh dan rakyat sekitar datang mencegah Hou Yi.

“Jangan panah lagi, sisakan satu matahari saja. “ Kita masih membutuhkan sinar matahari. Kalau semua matahari terbunuh, maka bencana lain yang akan menimpa manusia di bumi ini.” jelas Sang sesepuh.

Akhirnya Hou Yi urung menembak matahari ke 10. Setelah kejadian itu, rakyat kembali dapat hidup seperti biasa, bekerja pada siang hari dan istirahat di malam hari.

Namun Sang Kaisar Langit naik pitam setelah mengetahui putra-putranya telah dipanah oleh Hou Yi. Ia segera membuat maklumat hukuman terhadap Hou Yi dan Chang’e. Keduanya dihukum menjadi manusia dan tidak diperbolehkan kembali ke Langit.

Hou Yi telah menjadi manusia biasa. Tetapi di mata rakyat dia adalah ksatria sejati sekalipun atribut kedewaannya telah dicopot. Rakyat jelata tetap minta bantuannya untuk menyelesaikan masalah atau bencana yang mereka hadapi. Dan Hou Yi tak pernah menolak permintaan rakyat. Senantiasa mengulurkan tangan untuk membantu rakyat semampunya.

Setiap hari tiada siang dan malam, Hou Yi selalu disibukkan untuk membantu mengatasi kesulitan orang. Sang istri, Chang’e merasa terabaikan. Chang’e mulai murung dan sedih.

Ia teringat ketika tinggal di Langit. Kehidupan ia dan Hou Yi selalu rukun dan santai. Tidak perlu bekerja keras. Setiap hari hanya dihabiskan dengan penuh kegembiraan. Sekarang ia harus tinggal sendirian, tiada orang yang menemani. 

Malam hari Hou Yi pulang ke rumah mendapati Chang’e sedang menangis, maka iapun  bertanya:
“Apa yang telah terjadi, Sayang?” tanya Hou Yi dengan lembut.

Sambil mengusap air mata, Chang’e berkata “Saya sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini. Mari kita kembali ke Langit.”

Hou Yi sadar bahwa dia telah menelantarkan Chang’e. Maka ia berusaha untuk memulihkan perasaan  Chang’e dengan membujuknya.

“Saya akan mencoba cari obat “Hidup Abadi” bagi kita, agar dapat hidup rukun, tenteram, gembira dan sejahtera.” 

Hou Yi tak ingin menunda-nunda janjinya. Segera ia berangkat ke pegunungan Kun Lun di sebelah barat Tiongkok. Tempat tinggal Xi Wang Mu Niang Niang yang terkenal sebagai pembuat obat dewa “Hidup Abadi” dan terkenal pula dengan “Buah Persik Dewa” yang mujarab.

Pegunungan Kun Lun yang tinggi sepanjang tahun diselimuti es dan salju. Menempuhnya harus melalui gurun pasir yang luas dan terik bagai berjalan di atas bara api. Melewati hutan dan padang rumput yang banyak binatang buas dan melintasi danau besar tempat tinggal para hewan ganas. Hou Yi tidak peduli dengan semua itu. Tekadnya sudah bulat. Segala rintangan dan serangan akan diterjang dan dihadapi dengan tabah. Akhirnya sampai juga Hou Yi ke gua tempat tinggal Xi Wang Mu Niang Niang.

Wang Mu Niang Niang menyambut gembira kedatangan Hou Yi karena dia mengetahui bahwa hanya orang yang memiliki tekad yang kuat dan berani mempertaruhkan nyawa, baru dapat mencapai tempat ini.

Setelah mendengar paparan maksud Hou Yi mengunjunginya, Wang Mung Niang Niang pun berkata “Kamu telah banyak berkorban. Saya akan membantu kalian. Obat mujarab  yang kalian maksud, tersisa satu tabung hulu ( tabung kendi terbuat dari kulit labu putih). Ingat pembuatan obat ini memakan waktu yang amat sangat lama. Pohon obat ini mencapati usia 3000 tahun baru berbunga. Perlu 3000 tahun lagi bunganya menjadi buah masak. Satu tabung ini cukup untuk kalian berdua. Bawalah pulang dan semoga bahagia.”

Ketika mau berangkat, Niang Niang berpesan lagi, “Satu tabung obat ini untuk kalian berdua, jika diminum berdua kalian akan hidup abadi. Bila dikonsumsi sendiri, akan menjadi ringan dan terbang ke Langit.

Hou Yi sudah tak sabar lagi, segera ia bergegas pulang. Setibanya di rumah semua kejadian ia ceritakan kepada Chang’e dan menyerahkan satu tabung hulu obat dewa itu.

Chang’e menerima dengan senang hati. Esok harinya Hou Yi sudah sibuk lagi dengan urusan menolong rakyat. Chang’e kecewa  dan menunggu hingga petang sang suami tidak kembali juga. Mulailah timbul hasrat egonya untuk meminum sendiri obat dewa tersebut.

Akhirnya satu tabung obat dewa itu ditelan semua. Sekejap badan Chang’e  terasa ringan dan terbang.Segera Chang’e membawa serta kelinci putih kesayangannya dan melayang ke angkasa. Semakin tinggi, tinggi dan terus meninggi…(bersambung…) (Vau-G/www.bapang007.blogspot.com).

Referensi:
1.          ^ Husen TKS, Cerita Rakyat dalam Masyarakat Tionghoa,  Penerbit Tekad Mandiri, 2013.
2.          ^ Goh Pei Ki, Origins of Chinese Festivals – Asal Mula Festival Cina, PT. Media Elex Komputindo, Jakarta, 1997.
3.          ^ Kisah Dewi Bulan Dengan Pemanah Sakti; http://www.kejadiananeh.com/2015/03/kisah-dewi-bulan-dengan-pemanah-matahari.html;  www.kejadiananeh.com; 17 November 2015; 21.00 WIB.
4.          ^ Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selajang Pandang, Penerbit Keng Po, Jakarta, 1961.
5.          ^ Christine, 5000 Tahun Ensiklopedia Tionghoa 1, Penerbit St. Dominic Publishing, 2015.



No comments:

Post a Comment