Monday 4 September 2017

Chit Ngiat Pan / Chiong Shi Ku - Sembahyang Rebut Bangka



Setiap tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek, yang dikenal dengan Chit Ngiat Pan ( sembahyang pertengahan bulan ke tujuh Imlek ) atau Sembahyang Rebut ( Chiong Shi Ku ). Diyakini  oleh warga Tionghoa Bangka  pada saat tersebut pintu akhirat terbuka ( Khoi Kui  Mun). Seluruh arwah akan turun ke bumi sejak permulaan bulan ke tujuh.  Diantara arwah tersebut, ada yang bergentayangan dalam keadaan terlantar, sehingga mereka sangat membutuhkan persembahan makanan. Arwah yang terlantar ini karena tidak memiliki keturunan, meninggal tidak wajar, dan meninggal dalam kurun waktu lama ( generasi lanjut  tidak kenal dan tidak memberi persembahan ).

Sembahyang Rebut - wsj.com Images

Budaya Tionghoa mengenal 3 sembahyang utama yakni sembahyang Ko Ngian ( Imlek ), Chin Min ( Cheng Beng) dan  Chiong Si Ku (Rebut) . 

Beberapa tempat di Indonesia , mengenal  sembahyang Chiong Si Ku dengan Cioko. Umat Buddha menamai dengan perayaan Ulambana. Umat Khong Hu Cu dengan sembahyang Arwah Umum / Jing Hao Peng.  Ajaran Tao sebagai perayaan Tionggoan ( 中元- Zhong Yuan ). Sedangkan Yu Lan Hui ( Hari Arwah Tionghoa) di Serawak  dan Festival Hantu (鬼節 - Gui Jie) oleh masyarakat internasional.
 
Bulan ke tujuh penanggalan Imlek disebut dengan Bulan Hantu yang mana dipercayai selama kurun waktu setengah bulan, pintu akhirat terbuka, sehingga arwah berkeliaran di alam manusia. Kembali ke akhirat pada malam tanggal 15 penanggalan Imlek. Konon pada bulan ke tujuh, orang Tionghoa akan jarang sekali membuka usaha, pindah rumah dan resepsi pernikahan. Ditenggarai  memiliki potensi kurang baik dan ketidakberuntungan.

Thai Se Ja - koranbabel.com Images
Thai Tse Ja (Thai - yang paling Berkuasa; Tse - Orang Meninggal ; Ja - Raja ) adalah Raja Akhirat. Penampilan keadaan duduk, tangan kiri memegang buku dan tangan kanan memegang pena. Diyakini Thai Se Ja sedang mencatat arwah gentayangan di bumi. Patung ini bertempat di halaman Klenteng. Terdapat aneka persembahan seperti umbi-umbian, kacang, sayuran dan buah  di depan altar Thai Se Ja. Sajian sebagai hidangan bagi arwah sebelum kembali ke akhirat.

Persiapan perayaan  memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya besar. Patung Thai Se Ja yang semakin besar dan tinggi,  perlambang kemakmuran lingkungan setempat. Patung terbuat dari kain atau kertas lima warna ( biru, hijau, merah, kuning dan jingga). Kerangka bambu, dengan pundak Thai Se Ja dipasang payung dan bendera perlindungan. Bendera tertulis “ Lin atau Liang” berarti manjur.

Payung yang menghiasi pundak Thai Tse Ja dikenal dengan  “Payung Kramat” menjadi salah satu barang lelang. Dipercaya membawa kemakmuran dan pelindungan. Dana lelang masuk ke kas Klenteng.

Puncak sembahyang Rebut dibukanya kain atau kertas merah penutup mata patung. Ritual ini dikenal dengan Khoi Kong. Ada sebuah harapan akan kebaikan yang tercermin pada tulisan di dada Thai Tse  Ja yaitu Hap Ka ( Ham Cung) Phin On -  Kesejahteraan untuk seluruh warga masyarakat . Persembahan di altar Thai Tse Ja  akan diperebutkan oleh masyarakat. Setiap orang harus mendapatkan, walaupun hanya sebutir beras.

Ritual rebut diadakan pada tengah malam, jam 00.00 WIB. Setelah  aba-aba diberikan, maka masyarakat dapat berebut persembahan altar. Hal inilah yang membuat sembahyang ini dikenal dengan sembahyang Rebut. Pada ritual ini terdapat keunikan, setiap peserta berusaha mendapatkan apapun. Dipercaya jika tidak memperoleh sesuatu, maka akan memperoleh kemalangan. Namun sebaliknya, jika memperoleh dalam jumlah yang banyak, akan memperoleh rezeki yang melimpah.  Makanan hidangan  arwah, dipandang lebih bernilai dibanding makanan biasa. Menurut kepercayaan, arwah akan pergi ketakutan melihat banyak orang yang agresif ketika berebut persembahan. Sehingga arwah akan cepat segera meninggalkan dunia manusia.

Dalam ritual rebut, selain mengambil persembahan, ada suatu benda unik yang menjadi daya tarik yaitu Fung Pu ( Kain Merah). Kain ini disembunyikan di antara persembahan. Ini melambangkan keberuntungan. Dapat dijual kembali dengan harga tinggi.

Setelah selesai, patung Thai Se Ja pun segera dibakar. Ini sekaligus sebagai pertanda bahwa  arwah telah dibawa pulang oleh Thai Se Ja ke akhirat.





Klenteng yang biasa menyelenggarakan sembahyang Rebut yaitu:
a.       A. Klenteng Jaya Bakti, Desa Rebo, Kabupaten Bangka,
b.      B.  Klenteng Bakti, Parit 4 Kuday - Simpalet, Sungailiat- Bangka,



c.       C. Klenteng Cetya Dharma Abadi, Desa Pohin, Sungailiat



Makna ritual sembahyang Rebut sebagai keinginan berbagi dan membantu baik  manusia maupun arwah. Sehingga disebut pula bulan Berdana.  Orang berdoa dan memberi persembahan. Harapan arwah dapat memperoleh ketentraman dan tidak mengganggu manusia. Peserta  dapat  menikmati barang-barang persembahan . 

Sembahyang Rebut memberikan dampak sosial bagi masyarakat untuk saling gotong royong, tanggung jawab, bersatu padu dan berkumpul. Terdapat komunikasi intensif sejak beberapa bulan  untuk persiapan sembahyang. Umat awam datang membantu panitia, bahkan yang telah jauh merantau akan memberikan sumbangan dalam bentuk uang, buah-buahan, sembako dan lain sebagainya. Dampak sosial di atas dapat pula mempererat hubungan kekeluargaan.

Sesuai dengan ajaran  Lao Tze, prinsip Yin-Yang, menciptakan keteraturan  atau keharmonisan dalam masyarakat. Menjalankan ajaran  Kong Hu Cu bahwa manusia budiman selalu membantu dan memperhatikan penderitaan orang lain.

Atraksi Sembahyang Rebut

A.      Ko Fo San – Melewati Kobaran Api. Ritual berjalan di atas bara api. Dipimpin oleh seorang  Thai Pak  (orang pintar ) dengan membaca mantra dan  menyemburkan air . Terlebih dahulu, ia akan mencoba berjalan  berulang kali di atas bara api. Setelah itu diikuti oleh para peserta. Masyarakat mempercayai jika berjalan  di atas bara api akan menyembuhkan penyakit dan sebagai  tolak bala.


B.      Ko Po Li Sak – Melewati pecahan beling kaca. Syarat ritual ini menggunakan pecahan kaca baru. Sama dengan ritual Ko Fo San,  masyarakat akan berjalan di atas pecahan kaca, tanpa mengalami rasa sakit dan terluka.

C.      Ko Jiw Bok –  Wadah minyak panas. Minyak kelapa dari 7 buah kelapa yang memiliki 7 mata. Dimasak menggunakan 7 mata air sungai. Setelah minyak mendidih, orang pintar akan menjapa mantra. Para peserta akan bergantian mencelupkan tangan dan mengusap-usap minyak tersebut ke wajah atau anggota tubuh lainnya. Minyak hanya terasa hangat.


D.      Ko To San – Melewati Pisau Tajam.

Di Bangka, pertunjukan Ko Fo San dan Ko Po Li Sak yang masih sering dijumpai dalam perayaan.

Latar belakang  sembahyang Rebut

Kisah bakti seorang anak bernama Bok Lian. Setelah ibunya meninggal, Bok Lian pergi menghadap ke Raja Akhirat. Membawa sebuah bendera sakti pemberian gurunya. Dalam perjalanan ke akhirat, bertemu dengan beberapa  arwah sedang menjalani hukuman. Setelah sampai di hadapan Raja Akhirat, Bok Lian memohon kepada Raja Akhirat untuk mengampuni ibunya. Raja menyetujui dengan syarat Bok Lian mau menggantikan hukuman ibunya selama 1 bulan lamanya.

Sehubungan dengan keputusan ini,  Raja Akhirat pun memutuskan untuk menangguhkan hukuman arwah selama setengah bulan dan membuka pintu akhirat. Dari sini, orang Tionghoa menyelenggarakan sembahyang rebut untuk memberikan persembahan bagi arwah.

Serba serbi Sembahyang Rebut

A.      Lukisan Dinasti Qing - Perayaan Festival Hantu.

Lukisan Perayaan Festival Hantu, Dinasti Qing - ancient.eu Images

B.      Beberapa perayaan Sembahyang Rebut dari Berbagai Negara.

1Tet Trung Nguyen  (Vu Lan) - Vietnam
Perayaan yang diadakan di Vietnam, setiap tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek. Dikenal pula dengan Xa Toi Vong Nhan ( Hari Para Arwah). Pada hari itu, dipercaya pintu akhirat akan terbuka. Arwah akan pulang dan berkumpul kembali ke rumah keluarga yang masih hidup. Pagi hari telah dipersiapkan aneka hidangan untuk arwah leluhur . Setelah acara sembahyang, anggota keluarga  berkumpul makan bersama. Menu vegetarian  menjadi pilihan utama pada saat perayaan. Sore hari, akan dipersiapkan hidangan untuk arwah yang tidak memiliki keluarga. Hidangan tersebut diletakkan di depan rumah. Baru menjelang malam baru diadakan upacara melarung lentera di sungai  sambil memanjatkan harapan yang ingin dicapai. Upacara ini menghadirkan cahaya-cahaya yang berkilauan di atas sungai  dan suasana terasa sangat khidmat.

2 Segaki - Jepang
Segaki yang berarti memberi makan hantu kelaparan. Bertujuan untuk mengurangi penderitaan dari gaki atau muenbotoke  ( arwah yang tidak memiliki sanak saudara). Hantu ini sangat tersiksa akibat rasa lapar yang tidak terpuaskan. Secara tradisional juga dirayakan sebagai bagian dari Urabone ( Ullambana) pada bulan Juli. Ritual diadakan di Kuil Buddha dan biasanya juga  meletakkan  segaki –dana ( rak persembahan untuk arwah) di rumah. Persembahan dapat berupa  nasi dan air minum.

3Pchum Ben – Kamboja
Bulan ke-10 atau bulan Pheaktrobotr dalam penanggalan Khmer, orang Kamboja merayakan Pchum Ben ( Khmer: បុណ្យភ្ជុំបិណ្ឌ  sebagai Hari Para Leluhur ) berlangsung selama 15 hari. Bertepatan pula dengan masa vassa para Bhikkhu. Perayaan ini menjadi salah satu perayaan penting di kalender Khmer selain Tahun Baru di bulan April.

Kata “Phchum” berarti kumpul bersama dan “ Ben” berarti bola nasi.

Pada perayaan ini,  orang Kamboja mengadakan penghormatan kepada  leluhur sampai 7 generasi awal. Bhikkhu memanjatkan paritta suci dalam bahasa Pali sepanjang malam secara berkesinambungan sejak pintu neraka terbuka.

Selama masa ini,  preta (arwah) akan keluar. Agar tidak mengganggu, manusia mempersembahkan sejumlah makanan. Selain itu ada persembahan makanan kepada Para Bhikkhu Sangha di Pagoda setempat. Jasa perbuatan baik ini  dilimpahkan kepada  arwah leluhur (1). Kegiatan mulai di pagi hari. Orang berbagai usia berkumpul dan memakai pakaian tradisional.

Tata cara mempersembahkan dengan melemparkan langsung bola nasi ke udara atau ke lapangan terbuka di luar Pagoda. Untuk arwah yang tidak dapat masuk ke dalam Pagoda karena semasa hidupnya melakukan banyak perbuatan jahat.

Kekinian,  bola nasi dimasak dengan santan kelapa bercampur aneka bahan2 tradisi setempat. Ini memberi ciri khas tersendiri antar masing2 bola nasi. 

Para peserta perayaan membawa kue Num Onsam dan Num Korm yang manis  untuk saling bertukar. Bertujuan memupuk rasa persaudaraan. Perayaan ini menjadi hari libur nasional. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk pulang  kampung halaman untuk merayakan dan kumpul bersama. 

Ho Khao Padabdine  – Laos
Setiap tahun, Hari Orang Mati – Ho Khao Padabdine berlangsung pada hari ke 15 bulan sembilan dari penanggalan Laos.  Umat Buddha melakukan jasa-jasa kebajikan dengan mempersembahkan makanan kepada Para Bhikkhu. Jasa kebajikan ini dilimpahkan kepada  leluhur. 

Persembahan makanan berupa Tomh Khao, Khao Nom Neb, dan buah. Memiliki arti sebagai tanda penghormatan kepada leluhur.

Ho Khao Padapdine berarti “mengirimkan nasi dan meletakkan di lantai”.

Pagi hari saat gelap gulita,  persembahan berupa makanan asin, buah, kue, sirih dan rokok diletakkan di depan stupa  abu leluhur, di bawah pohon dan  di sudut Vihara dengan dibungkus  daun pisang atau teratai. Harapan saat  gelap, arwah leluhur dapat menikmati persembahan.

Suara tabuhan gong Pagoda terdengar hingga ke jalan-jalan, pertanda perayaan telah mulai. Persembahan kepada Bhikkhu mulai dibawa. Tak lupa pintu masuk pagoda, tergantung persembahan pada tiang untuk orang meninggal karena kekerasan atau tidak memiliki sanak keluarga.

Selamat merayakan sembahyang rebut ( Chiong Shi Ku ) . Semoga  pemberian baik material maupun non material akan memperoleh berkah-berkah kebaikan baik  bagi arwah leluhur maupun arwah lain serta bagi para pemberi. 

Catatan Kaki
[1] ^ Menurut ajaran Buddha, arwah tertentu mampu “memakan” persembahan. Untuk arwah jenis yang lain, hanya dapat turut berbahagia atas kebaikan berupa persembahan yang telah dilakukan oleh sanak keluarga.

Referensi
1.       Celebrate Chinese Culture: Chinese Literature, Diterjemahkan oleh Li En dan Chan Ying Kit, PT. Elex Media Komputindo, 2014.
2.       Celebrate Chinese Culture: Chinese Folk Customs, Diterjemahkan oleh Shirley Tan, PT. Elex Media Komputindo, 2015.
3.       Celebrate Chinese Culture: Chinese Auspicious Culture, Diterjemahkan oleh Evy Wong dkk, PT. Elex Media Komputindo, 2014.
4.       Ghosts in Chinese Culture, en.wikipedia.org, Diakses tanggal 19 Februari 2017, Jam 23.01 WIB.
5.       Tanggok, M. Ikhsan, Agama dan Kebudayaan orang Hakka di Singkawang, Kompas, Jakarta  2017.
6.       Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selajang Pandang, Penerbit Keng Po, Jakarta, 1961.
7.       Rika Theo dan Fennie Lie, Kisah Kultur dan Tradisi Tionghoa Bangka, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2014.
8.       Segaki. Wikipedia.org. Diakses tanggal 27 Maret 2017, Jam 05.45 WIB. 
9.       Hungry Ghost Festival, traditions.cultural-china.com, diakses tanggal 19 Februari 2017,Jam 22.59 WIB.
10.    Vu Lan Festival , toursinvietnam.com, diakses tanggal 7 Maret 2017, Jam 23.16 WIB.
11.    Feeding the Ancestors: The Cambodian Pchum Ben Festival, mekong.net, diakses 15 Agustus 2017, Jam 20.29 WIB.
12.    Boun Ho Khao Padabdine, luangprabang-laos.com diakses tanggal 20 Agustus 2017, Jam 22.29 WIB.



1 comment: